Wacana pemasangan chairlift di kawasan Candi Borobudur memang sempat memancing diskusi hangat publik. Meski menuai pro dan kontra, sebenarnya ide penggunaan lift gantung untuk memudahkan akses wisatawan bukanlah hal baru. Beberapa situs warisan dunia lainnya di berbagai negara juga telah mengadopsi teknologi serupa untuk alasan kenyamanan maupun konservasi.
Berikut ini dua contoh situs bersejarah yang sudah lebih dulu mengintegrasikan chairlift dalam pengelolaannya.
1. Kuil Zhengjue, Tiongkok – Memeluk Tebing, Menyambut Wisatawan
Terletak di kawasan pegunungan yang curam di Provinsi Shanxi, Tiongkok, Kuil Zhengjue atau biasa disebut juga “Xuankong Si” (kuil gantung) berdiri menempel pada tebing setinggi ratusan meter. Karena lokasi ekstrem inilah, pengelola setempat memasang sistem lift gantung untuk mempermudah akses pengunjung menuju kuil.
Dengan adanya chairlift, wisatawan tak hanya dimudahkan dari sisi fisik, tapi juga bisa menikmati panorama pegunungan dari ketinggian dengan cara yang aman dan nyaman. Selain itu, penggunaan alat ini turut menjaga struktur alami jalur pendakian dari tekanan kaki ribuan pengunjung setiap harinya.
2. Masada, Israel – Rute Raja-Raja Kuno Kini Bisa Diakses via Udara
Situs Masada di Israel adalah benteng kuno yang terletak di atas dataran tinggi dekat Laut Mati. Tempat ini dulunya menjadi saksi sejarah perjuangan rakyat Yahudi melawan pasukan Romawi.
Demi menjaga kelestarian jalur kuno sekaligus memberikan pengalaman yang aman, pemerintah Israel membangun sistem cable car yang berfungsi layaknya chairlift. Alat ini membantu pengunjung mencapai puncak tanpa harus mendaki jalur curam yang dikenal dengan sebutan “Snake Path”.
Selain mempermudah, sistem ini juga menjadi daya tarik tersendiri, karena menawarkan pemandangan gurun dan laut yang dramatis dari ketinggian.
Antara Aksesibilitas dan Konservasi
Kehadiran teknologi seperti chairlift memang memicu dilema antara menjaga keaslian situs dan meningkatkan kenyamanan wisatawan. Namun, jika dirancang dan dikelola dengan hati-hati, fasilitas ini justru bisa menjadi solusi cerdas: mengurangi tekanan fisik pada bangunan bersejarah sekaligus memperluas akses bagi pengunjung yang memiliki keterbatasan mobilitas.
Indonesia sendiri, dengan kekayaan situs budaya seperti Borobudur, memiliki peluang untuk mencontoh praktik terbaik dari negara lain. Tentunya, setiap keputusan harus mempertimbangkan aspek pelestarian, nilai sejarah, dan kearifan lokal secara seimbang.
Leave a Reply